Sebenarnya saya bukan Mancingers ataupun Joraners, saya hanyalah seorang yang pernah mencoba mancing. Disini saya hanya mengirimkan artikel berbagi cerita mengisahkan pengalaman pertama kali mancing dan mancing di laut. Dikarenakan cerita ini panjang, maka saya bagi menjadi 3 post artikel.
PERSIAPAN MANCING
PERSIAPAN MANCING
Pada waktu itu kira-kira pertengahan tahun 2011 saya silaturahmi berkunjung kerumah sahabat dibilangan Ragunan Jakarta Selatan yang memang hobi mancing ikan. Entah mungkin saya yang datang harinya tidak tepat atau memang kebetulan kawan saya ini memang sedang merencanakan untuk mancing di laut pada malam hari. Saya juga kaget ternyata saya gak bisa berlama-lama di rumah kawan, karena kawan saya ini sudah menjadwalkan mancingnya. Tapi saya juga tidak berkecil hati, karena ternyata saya diajak juga untuk ikut serta mancing di laut bersama. Awalnya sih saya gak minat karena disamping saya gak pernah mancing sama sekali, saya juga termasuk orang yang simpel, maksudnya kalau mau makan ikan ya tinggal cari pedagang Pecel Lele Lamongan karena biasanya disana juga terdapat beberapa menu seafood seperti Bawal, Tongkol, Udang dsb. Tinggal pesan ikan yang diinginkan, tunggu sampai dihidangkan, setelah itu makan kenyang dan bayar tanpa harus susah-susah dan capek menunggu kail umpan dimakan ikan.
Setelah saya dibujuk, akhirnya saya bersedia ikut mancing bersama di laut. Sebenarnya saya masih agak khawatir untuk begadang malam, apalagi di laut yang sudah pasti angin nya kencang dan udaranya dingin. Kekhawatiran saya karena memang pada saat itu kondisi fisik baru sembuh dari sakit ringan yang masih butuh istirahat. Tapi kekhawatiran saya telah terkalahkan oleh rasa penasaran saya untuk mencoba mancing ikan, mancing di laut dan naik perahu. Ya memang pada saat itu saya juga belum pernah naik perahu, oleh karena itu saya akhirnya menyanggupi dan siap untuk begadang, mancing dilaut dan naik perahu. Saya juga tidak khawatir, mengingat perlengkapan saya saat silaturahmi naik motor ke rumah kawan ini juga lengkap, seperti jaket tebal, sarung tangan, sapu tangan yang lebar dan bekal uang yang cukup tentunya.
Akhirnya kami bertiga bersama kawan sepakat untuk jalan pergi mancing jam 19.00. Persiapan peralatan mancing dan joran juga telah dipersiapkan sejak jam 5 sore, begitu mendekati jam 7 malam kita sudah berangkat dengan mengendarai 2 motor berboncengan. Perjalanan menuju lokasi mancing semakin seru manakala saat menjemput 2 orang kawan yang lain yang memang sudah berencana ikut dalam mancing dimalam itu. Sebelum perjalanan dilaksanakan selagi masih di Jakarta kita pun belanja-belanja disebuah mini market disamping kantor stasiun TV di Jl. Kapten Tendean, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Kami belanja perbekalan begadang seperti makanan, roti, kopi, teh, air mineral, jamu masuk angin dan yang paling utama adalah rokok kretek. Stock rokok harus banyak karena sudah kebayang ditengah lautan tidak ada pedagang diatas perahu yang jual rokok.
PERJALANAN MENUJU TANJUNG KAIT
Setelah saya dibujuk, akhirnya saya bersedia ikut mancing bersama di laut. Sebenarnya saya masih agak khawatir untuk begadang malam, apalagi di laut yang sudah pasti angin nya kencang dan udaranya dingin. Kekhawatiran saya karena memang pada saat itu kondisi fisik baru sembuh dari sakit ringan yang masih butuh istirahat. Tapi kekhawatiran saya telah terkalahkan oleh rasa penasaran saya untuk mencoba mancing ikan, mancing di laut dan naik perahu. Ya memang pada saat itu saya juga belum pernah naik perahu, oleh karena itu saya akhirnya menyanggupi dan siap untuk begadang, mancing dilaut dan naik perahu. Saya juga tidak khawatir, mengingat perlengkapan saya saat silaturahmi naik motor ke rumah kawan ini juga lengkap, seperti jaket tebal, sarung tangan, sapu tangan yang lebar dan bekal uang yang cukup tentunya.
Akhirnya kami bertiga bersama kawan sepakat untuk jalan pergi mancing jam 19.00. Persiapan peralatan mancing dan joran juga telah dipersiapkan sejak jam 5 sore, begitu mendekati jam 7 malam kita sudah berangkat dengan mengendarai 2 motor berboncengan. Perjalanan menuju lokasi mancing semakin seru manakala saat menjemput 2 orang kawan yang lain yang memang sudah berencana ikut dalam mancing dimalam itu. Sebelum perjalanan dilaksanakan selagi masih di Jakarta kita pun belanja-belanja disebuah mini market disamping kantor stasiun TV di Jl. Kapten Tendean, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Kami belanja perbekalan begadang seperti makanan, roti, kopi, teh, air mineral, jamu masuk angin dan yang paling utama adalah rokok kretek. Stock rokok harus banyak karena sudah kebayang ditengah lautan tidak ada pedagang diatas perahu yang jual rokok.
PERJALANAN MENUJU TANJUNG KAIT
Saya sendiri tidak tau lokasi mancing nya dimana, hanya bertanya kepada kawan kalau lokasi nya di Tanjung Kait daerah Tangerang, Banten. Sambil berbicara dalam hati "ya ampun jauh banget ya untuk mancing di laut aja harus menempuh perjalanan naik motor sekitar 2 - 3 jam dari Jakarta ke Tanjung Kait. Saat itu saya hanya bonceng naik motor kawan, beberapa saat sebentar-sebentar duduk saya mulai terasa tidak nyaman karena mungkin sudah terasa sakit karena sudah duduk terlalu lama.
Perjalalan pun sudah memasuki Kota Tangerang dan sudah dekat dengan lokasi jalan masuk pantai Tanjung Kait, disana kami rombongan yang berjumlah 6 orang 3 Motor beristirahat sejenak di rumah makan sambil membeli umpan. Nah bagi mancingers yang membaca cerita saya ini jika akan mancing di laut Tanjung Kait tidak usah khawatir karena disepanjang jalan masuk menuju lokasi Pantai Tanjung Kait banyak pedagang-pedagang yang bejualan umpan mancing serta peralatan mancing seperti pancingan, benang, kail, bubu dll. Karena banyak anglers yang datang pada malam hari untuk mancing di laut Tanjung Kait, maka penjual-penjual umpan yang berupa udang, cacing dan jenis umpan-umpan lainnya mereka berdagang hingga 24 jam. Tapi karena hari ini dan hari kemarin banyak pemancing yang datang membeli umpan maka kami kehabisan umpan udang. Yang tersisa hanya umpan cacing rawa atau yang biasa disebut dengan "Lur". Ya daripada tidak mendapat ada umpan sama sekali, akhirnya kami hanya bisa membeli umpan cacing lur.
Setelah bekal umpan yang dibeli sudah tercukupi dan perut kenyang, kemudian perjalanan dilanjutkan kembali menuju Pantai Tanjung Kait. Saat itu jam di handphone sudah menunjukan kira-kira jam 11an kami sudah berada di gerbang masuk pantai Tanjung Kait, kemudian kami di hampiri oleh seorang penjaga pantai untuk diminta uang retribusi masuk pantai. Kalau tidak salah kira-kira kami diminta uang Rp. 5.000,- per orang untuk masuk pantai. Setelah masuk pantai kami langsung menuju ke perkampungan nelayan Tanjung Kait, disana kami mencari seorang nelayan yang bisa menyewakan perahunya yang bernama Mang Ucin. Setelah bertemu seorang nelayan yang dicari, kamipun diajak untuk mampir ke rumah nelayan tersebut, terlihat dalam kegelapan malam perkampungan rumah-rumah nelayan di lokasi tanjung Kait sangat sederhana. Rumah sederhana yang terbuat dari anyaman bambu dengan penerangan lampu pijar yang tidak begitu terang, membuat suasana rumah Mang Ucin terkesan tenang. Kami pun sangat terkesan dengan interior rumah Mang Ucin, walaupun terbuat serba dari bambu tapi interior dan eksterior rumah sangat rapih dan kumplit. Seperti ada bale-bale bambu di dalam dan depan rumah.
Kami pun menitipkan motor di rumah Mang Ucin dan setelah sepakat harga sewa Bagan (panggung tempat mancing di tengah laut) milik Mang Ucin Rp. 300.000,- sambil diantar membantu navigasi menuju bagan di tengah laut, kemudian menjemput kami kembali jam 11 siang di keesokan harinya. Setelah itu kami diantar Mang Ucin menuju bibir pantai menuju tempat bersandar perahunya, dengan berbekal sebuah lampu petromax ditengah kegelapan jalan setapak pantai yang dikiri kanan nya banyak tanaman bakau kami menuju dermaga yang terbuat dari bambu dan sudah reyot, Mang Ucin berjalan duluan melewati dermaga untuk memberi penerang lampu petromax kemudian disusul oleh kami yang berjalan satu-persatu. Dengan membaca "Bismillahirrohmanirrohim" seolah petualangan mancing di Tanjung Kait ini akan dimulai.
PERJALANAN DARI PANTAI MENUJU BAGAN
Perjalalan pun sudah memasuki Kota Tangerang dan sudah dekat dengan lokasi jalan masuk pantai Tanjung Kait, disana kami rombongan yang berjumlah 6 orang 3 Motor beristirahat sejenak di rumah makan sambil membeli umpan. Nah bagi mancingers yang membaca cerita saya ini jika akan mancing di laut Tanjung Kait tidak usah khawatir karena disepanjang jalan masuk menuju lokasi Pantai Tanjung Kait banyak pedagang-pedagang yang bejualan umpan mancing serta peralatan mancing seperti pancingan, benang, kail, bubu dll. Karena banyak anglers yang datang pada malam hari untuk mancing di laut Tanjung Kait, maka penjual-penjual umpan yang berupa udang, cacing dan jenis umpan-umpan lainnya mereka berdagang hingga 24 jam. Tapi karena hari ini dan hari kemarin banyak pemancing yang datang membeli umpan maka kami kehabisan umpan udang. Yang tersisa hanya umpan cacing rawa atau yang biasa disebut dengan "Lur". Ya daripada tidak mendapat ada umpan sama sekali, akhirnya kami hanya bisa membeli umpan cacing lur.
Setelah bekal umpan yang dibeli sudah tercukupi dan perut kenyang, kemudian perjalanan dilanjutkan kembali menuju Pantai Tanjung Kait. Saat itu jam di handphone sudah menunjukan kira-kira jam 11an kami sudah berada di gerbang masuk pantai Tanjung Kait, kemudian kami di hampiri oleh seorang penjaga pantai untuk diminta uang retribusi masuk pantai. Kalau tidak salah kira-kira kami diminta uang Rp. 5.000,- per orang untuk masuk pantai. Setelah masuk pantai kami langsung menuju ke perkampungan nelayan Tanjung Kait, disana kami mencari seorang nelayan yang bisa menyewakan perahunya yang bernama Mang Ucin. Setelah bertemu seorang nelayan yang dicari, kamipun diajak untuk mampir ke rumah nelayan tersebut, terlihat dalam kegelapan malam perkampungan rumah-rumah nelayan di lokasi tanjung Kait sangat sederhana. Rumah sederhana yang terbuat dari anyaman bambu dengan penerangan lampu pijar yang tidak begitu terang, membuat suasana rumah Mang Ucin terkesan tenang. Kami pun sangat terkesan dengan interior rumah Mang Ucin, walaupun terbuat serba dari bambu tapi interior dan eksterior rumah sangat rapih dan kumplit. Seperti ada bale-bale bambu di dalam dan depan rumah.
Kami pun menitipkan motor di rumah Mang Ucin dan setelah sepakat harga sewa Bagan (panggung tempat mancing di tengah laut) milik Mang Ucin Rp. 300.000,- sambil diantar membantu navigasi menuju bagan di tengah laut, kemudian menjemput kami kembali jam 11 siang di keesokan harinya. Setelah itu kami diantar Mang Ucin menuju bibir pantai menuju tempat bersandar perahunya, dengan berbekal sebuah lampu petromax ditengah kegelapan jalan setapak pantai yang dikiri kanan nya banyak tanaman bakau kami menuju dermaga yang terbuat dari bambu dan sudah reyot, Mang Ucin berjalan duluan melewati dermaga untuk memberi penerang lampu petromax kemudian disusul oleh kami yang berjalan satu-persatu. Dengan membaca "Bismillahirrohmanirrohim" seolah petualangan mancing di Tanjung Kait ini akan dimulai.
PERJALANAN DARI PANTAI MENUJU BAGAN
Satu-persatu kami masuk kedalam perahu. Terutama saya sendiri yang baru pertama kali naik perahu, saya heran karena perahu yang kami sewa ini ternyata tergenang air apakah perahu ini bocor? seperti yang terjadi di adegan film. Karena terlihat dengan menggunakan ember kecil Mang Ucin sedang menguras air didalam perahu. Saya pun berbicara pelan dengan kawan saya "Bro, itu perahunye bocor ye?". Tapi setelah saya tanya seperti itu kawan saya langsung cekikikan "Kagak lah itu cuma air yang masuk menggenang di dalam perahu aje". Mang Ucin rupanya mendengar maksud pembicaraan kami, lalu Mang Ucin berbicara dengan logat Sunda nya. "Ya kalau perahu na bocor ya langsung tenggelam atuh den". Kami semua pun tertawa ngakak, benar juga ya kalupun perahunya bocor air yang masuk pasti sudah penuh bahkan perahunya bisa tenggelam.
Mang Ucin kemudian menyalakan mesin boat, terlihat hentakan pertama tali engkel mesin Mang Ucin gagal menyalakan mesin sampai tarikan engkel yang ketiga kali mesin masih belum hidup. Saya pun jadi bertanya di dalam hati "Hadeh ini mesin mudah-mudahan gak ada masalah". Begitu tarikan tali engkel yang keempat mesinnya bisa hidup, perahu pun berjalan ketengah laut menjauhi bibir pantai. Maka sebagai orang yang baru pertama kali naik perahu ditengah gelap malam tanpa bisa melihat disekeliling lautan hanya terlihat lampu-lampu rumah nelayan yang semakin jauh, saya pun bertanya kepada Mang Ucin. "Mang kok bisa sih jalan ketengah laut menuju lokasi? kan gelap gak bisa ngelihat apa-apa?". Dalam hati saya berbicara "Secara kalau kita naik motor di jalan tanpa lampu tanpa penerangan jalan aja akan susah, nah ini bayangkan berlayar ditengah laut yang tidak ada lampunya". Mendengar pertanyaan itu Mang Ucin tertawa terkekeh, jawabnya:
Mang Ucin: "Waduh saya mah udah biasa dari kecil turun temurun sudah di ajarkan ilmu nelayan dan pelayaran oleh orang tuanya yang juga nelayan tradisional". Saat obrolan tersebut tak lama perahu pun berbelok. langsung saya bertanya lagi:
Saya: "Lho terus gimana caranya, kok bisa tau kapan saatnya serta tempat dan waktunya belok?"
Mang Ucin kemudian memberikan sedikit penjelasan:
Mang Ucin: "Tuh lihat disana tuh ada beberapa lampu tepat lurus dari dermaga itu ada lampu yang selalu menyala saat malam dan ada juga lampu yang menyala di kejauhan pantai di sisi kanan"
Mang Ucin juga menjelaskan bahwa dirinya dan nelayan-nelayan lain yang berlayar meninggalkan dermaga berpatokan jika dia sudah melewati lampu di sisi kanan atau kiri dia harus sudah berbelok untuk menghindari keluar area kedalaman pantai atau bisa menuju area lautan lepas (pantai arus pantai bagian luar). O begitu ya, dari penjelasan tersebut kami semua akhirnya mengerti dan mendapat titik pencerahan tentang ilmu pelayaran.
Dengan kecepatan pelan kira-kira 20 - 40 Km/jam perjalanan yang tidak lebih dari 30 menit ini akhirnya kami sampai di bagan milik Mang Ucin. Sekali lagi saya dibuat kagum dengan Intuisi dan Keahlian nelayan tradisional, karena dia bisa mengetahui letak letak bagan milik nya sendri dari beberapa bagan-bagan pemancingan yang tersebar milik nelayan lain. Kemudian kami didrop Mang Ucin di bagan milik nya dengan dibekali lampu petrolight milik Mang Ucin dengan membaca "Bismillah" kami berhati-hati naik ke atas bagan. Setelah sampai di atas bagan dan melihat lampu petromaks yang di tenteng oleh kawan, saya jadi bertanya kepada Mang Ucin "Lho mang ini lampunya ditinggal nih? Terus Mang Ucin pulang nya gimana?". Kemudian Mang Ucin menjawab "Tenang aja saya teh gampang, perjalanan di tengah laut tanpa lampu teh gak papa, tinggal melihat di kejauhan lampu dipantai-pantai pasti tidak tersesat sampai di pantai". Sayapun kagum lagi dan batin "Hadeh hebat betul ya nelayan". Perahu Mang Ucin pun terlihat sudah berjalan menjauhi bagan hilang ditelan kegelapan malam ditengah lautan. Hanya terdengar suara mesin motor kapal Mang Ucin semakin lama semakin pelan bahkan hilang sama sama sekali, kami pun berdoa. Mudah-mudahan dikeesokan hari Mang Ucin bisa datang menjemput kami tepat waktu sesuai yang dijanjikan. Apa jadinya jika kami berenam terdampar di tengah bagan seperti cerita di film-film?.
Bersambung ke: Edisi Mancing di Tanjung Kait - Part 2 of 3
Mang Ucin kemudian menyalakan mesin boat, terlihat hentakan pertama tali engkel mesin Mang Ucin gagal menyalakan mesin sampai tarikan engkel yang ketiga kali mesin masih belum hidup. Saya pun jadi bertanya di dalam hati "Hadeh ini mesin mudah-mudahan gak ada masalah". Begitu tarikan tali engkel yang keempat mesinnya bisa hidup, perahu pun berjalan ketengah laut menjauhi bibir pantai. Maka sebagai orang yang baru pertama kali naik perahu ditengah gelap malam tanpa bisa melihat disekeliling lautan hanya terlihat lampu-lampu rumah nelayan yang semakin jauh, saya pun bertanya kepada Mang Ucin. "Mang kok bisa sih jalan ketengah laut menuju lokasi? kan gelap gak bisa ngelihat apa-apa?". Dalam hati saya berbicara "Secara kalau kita naik motor di jalan tanpa lampu tanpa penerangan jalan aja akan susah, nah ini bayangkan berlayar ditengah laut yang tidak ada lampunya". Mendengar pertanyaan itu Mang Ucin tertawa terkekeh, jawabnya:
Mang Ucin: "Waduh saya mah udah biasa dari kecil turun temurun sudah di ajarkan ilmu nelayan dan pelayaran oleh orang tuanya yang juga nelayan tradisional". Saat obrolan tersebut tak lama perahu pun berbelok. langsung saya bertanya lagi:
Saya: "Lho terus gimana caranya, kok bisa tau kapan saatnya serta tempat dan waktunya belok?"
Mang Ucin kemudian memberikan sedikit penjelasan:
Mang Ucin: "Tuh lihat disana tuh ada beberapa lampu tepat lurus dari dermaga itu ada lampu yang selalu menyala saat malam dan ada juga lampu yang menyala di kejauhan pantai di sisi kanan"
Mang Ucin juga menjelaskan bahwa dirinya dan nelayan-nelayan lain yang berlayar meninggalkan dermaga berpatokan jika dia sudah melewati lampu di sisi kanan atau kiri dia harus sudah berbelok untuk menghindari keluar area kedalaman pantai atau bisa menuju area lautan lepas (pantai arus pantai bagian luar). O begitu ya, dari penjelasan tersebut kami semua akhirnya mengerti dan mendapat titik pencerahan tentang ilmu pelayaran.
Dengan kecepatan pelan kira-kira 20 - 40 Km/jam perjalanan yang tidak lebih dari 30 menit ini akhirnya kami sampai di bagan milik Mang Ucin. Sekali lagi saya dibuat kagum dengan Intuisi dan Keahlian nelayan tradisional, karena dia bisa mengetahui letak letak bagan milik nya sendri dari beberapa bagan-bagan pemancingan yang tersebar milik nelayan lain. Kemudian kami didrop Mang Ucin di bagan milik nya dengan dibekali lampu petrolight milik Mang Ucin dengan membaca "Bismillah" kami berhati-hati naik ke atas bagan. Setelah sampai di atas bagan dan melihat lampu petromaks yang di tenteng oleh kawan, saya jadi bertanya kepada Mang Ucin "Lho mang ini lampunya ditinggal nih? Terus Mang Ucin pulang nya gimana?". Kemudian Mang Ucin menjawab "Tenang aja saya teh gampang, perjalanan di tengah laut tanpa lampu teh gak papa, tinggal melihat di kejauhan lampu dipantai-pantai pasti tidak tersesat sampai di pantai". Sayapun kagum lagi dan batin "Hadeh hebat betul ya nelayan". Perahu Mang Ucin pun terlihat sudah berjalan menjauhi bagan hilang ditelan kegelapan malam ditengah lautan. Hanya terdengar suara mesin motor kapal Mang Ucin semakin lama semakin pelan bahkan hilang sama sama sekali, kami pun berdoa. Mudah-mudahan dikeesokan hari Mang Ucin bisa datang menjemput kami tepat waktu sesuai yang dijanjikan. Apa jadinya jika kami berenam terdampar di tengah bagan seperti cerita di film-film?.
Bersambung ke: Edisi Mancing di Tanjung Kait - Part 2 of 3